Flu Burung: Dari Unggas ke Mamalia, Apakah Kita di Ambang Pandemi?

“Holy cow. Ini cara pandemi dimulai.” Kalimat dari Thomas Friedrich, ahli virologi di University of Wisconsin Madison, menjadi penanda betapa seriusnya situasi ketika flu burung H5N1 muncul di tempat yang tak terduga: peternakan sapi perah di Texas pada awal 2024. Selama hampir 30 tahun, virus ini menyebar secara global pada unggas, namun kehadirannya di tubuh mamalia besar yang punya kontak erat dan rutin dengan manusia membangkitkan kekhawatiran dunia.

 

H5N1: Dari Unggas ke Manusia Virus H5N1 dikenal sebagai flu burung patogenik tinggi (highly pathogenic avian influenza/HPAI), jenis influenza A yang pertama kali muncul di Tiongkok pada tahun 1996. Awalnya, virus ini hanya menyebabkan wabah di kalangan unggas. Namun, tahun 1997, dunia dikejutkan oleh kematian seorang anak di Hong Kong. Virus yang menyebabkannya? H5N1. Dan yang mengejutkan, virus ini melompati perantara biasa babi dan langsung menginfeksi manusia. Robert Webster, salah satu ilmuwan yang mengidentifikasi virus tersebut, menyebutnya “a nasty bastard”. Dalam upaya dramatis, semua unggas di Hong Kong dimusnahkan, dan untuk sesaat, penyebaran bisa ditekan. Tapi induk virus ini tetap hidup di daratan Tiongkok, terus berevolusi, menyebar, dan memberi banyak “kejutan” pada ilmuwan.

 

Virus yang Tidak Bisa Diprediksi 

 

Sejak awal 2000-an, H5N1 berkembang menjadi virus yang tak terduga. Tahun 2005, ia menginfeksi ribuan burung liar di Cagar Alam Danau Qinghai, Tiongkok—titik balik penting yang menandai kemampuannya kembali ke burung liar dan menyebar antarnegara lewat jalur migrasi.

 

Virus ini bukan hanya menjelma jadi ancaman unggas ternak, tapi juga memusnahkan banyak satwa liar. Di seluruh dunia, ia membunuh: 24.000 singa laut Amerika Selatan, 17.000 anak gajah laut, 40% populasi burung pelikan Peru, 75% populasi great skua di Skotlandia, dan bahkan burung kondor California, spesies langka dengan populasi kurang dari 1.000 ekor. Pada 2023, virus ini telah mencapai ujung selatan Amerika Selatan dan bahkan melompat ke Antarktika. “Perjalanan 6.000 kilometer itu hanya butuh enam bulan,” kata Michelle Wille, ahli ekologi virus dari WHO. “Cepat sekali untuk virus yang tidak dibantu oleh pesawat.” 

 

Virus yang Menyesuaikan Diri 

 

Virus influenza tipe A, termasuk H5N1, memiliki struktur dasar yang sama: terdiri dari 8 potongan materi genetik dan 11 protein. Dua protein penting di permukaan virus adalah hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N) yang menentukan tipe virus seperti H5N1. Namun, virus ini sangat mudah berubah. Jika dua jenis flu menginfeksi sel yang sama, mereka bisa bertukar materi genetik dan menciptakan varian baru. H5N1 telah melakukannya berkali-kali, menciptakan subvarian seperti B3.13 dan D1.1, yang kini menyebar secara global. Sejak akhir 2021, varian H5N1 dengan kode genetik 2.3.4.4b menyebar cepat dan kini sudah menjadi panzootic—pandemi pada hewan. Virus ini telah ditemukan di setiap benua kecuali Australia dan menginfeksi burung liar, unggas ternak, serta berbagai mamalia: dari kucing dan anjing, hingga lumba-lumba dan singa laut. 

 

Sapi Perah Jadi Korban Baru 

 

Salah satu momen paling mengejutkan terjadi pada 2024 ketika H5N1 menginfeksi sapi perah di Texas. “Literatur menyatakan sapi tidak terkena flu A,” kata Maurice Pitesky dari University of California, Davis. “Tapi sapi tidak baca literatur.” Sapi yang terinfeksi biasanya tidak mati, tapi menunjukkan gejala mastitis (radang ambing) parah dengan susu yang berubah kental dan kekuningan. Virus menyebar lewat percikan susu, meningkatkan risiko penularan di dalam peternakan. Lebih mengkhawatirkan lagi, varian virus yang ditemukan pada sapi di awal 2025 D1.1 berbeda dengan yang ada tahun sebelumnya, menunjukkan virus terus berevolusi.

 

Mengapa Manusia Harus Waspada? 

 

Meski belum ada penularan antar-manusia yang terkonfirmasi, para ahli tidak menutup kemungkinan itu bisa terjadi. Virus ini perlu mengalami mutasi agar bisa menempel pada sel saluran pernapasan bagian atas manusia, serta menyesuaikan enzim penyalin gen-nya agar bekerja efektif di tubuh manusia. Saat ini, infeksi pada manusia di AS masih jarang dan ringan. Sejak 2024 hingga awal 2025, terdapat 70 kasus, sebagian besar di kalangan pekerja peternakan. Namun, satu kasus kematian terjadi pada pria lanjut usia dengan kondisi medis mendasar, yang terinfeksi varian D1.1.

 

Ada kekhawatiran bahwa varian ini lebih berpotensi bermutasi ke arah penularan antar-manusia. “Saya punya firasat, dan banyak kolega saya juga, bahwa genotipe D1.1 mungkin lebih mudah beradaptasi di tubuh manusia,” ujar Friedrich. Namun, ada kabar baik: sebagian besar orang dewasa yang pernah terinfeksi flu biasa memiliki kekebalan parsial. Dalam studi pada musang, yang sistemnya mirip manusia, musang yang sebelumnya terinfeksi flu H1N1 2009 tidak menunjukkan gejala parah saat terinfeksi H5N1.

 

Vaksin, Biosekuriti, dan Tantangan Global 

 

Sejauh ini, vaksin flu burung untuk unggas telah dikembangkan dan digunakan secara terbatas. Di AS, vaksin terbaru dari perusahaan Zoetis sudah mendapat lisensi terbatas awal 2025. Namun vaksin ini tidak mencegah penularan hanya mencegah gejala dan kematian. AS belum mengizinkan vaksinasi massal karena alasan perdagangan: unggas yang divaksin bisa tetap membawa virus tanpa gejala, dan banyak negara enggan mengimpor unggas semacam itu. Untuk sapi, vaksin sedang dikembangkan, tapi belum siap digunakan secara luas. “Kami ingin vaksin ini tersedia di kotak peralatan,” ujar Jamie Jonker dari National Milk Producers Federation.

 

Sementara itu, pengendalian bergantung pada biosekuriti: mencuci tangan dan sepatu, memakai masker, serta membatasi kontak dengan hewan. Namun, letak peternakan yang dekat dengan habitat burung liar masih menjadi celah besar dalam sistem ini.

 

Konsekuensi bagi Alam dan Masa Depan yang Tak Menentu 

 

H5N1 telah menyebabkan kematian massal pada satwa liar: ribuan burung laut di Peru, puluhan ribu singa laut, bahkan 21 burung kondor California yang langka. “Satu kejadian seperti ini bisa menentukan nasib spesies,” kata Michelle Wille dari WHO. Virus ini belum mencapai Australia dan Selandia Baru tapi mungkin hanya tinggal menunggu waktu. 

 

Akhir Kata: Kita di Ambang Apa? 

 

Bagi masyarakat umum, saran utamanya sederhana: hindari susu mentah dan pastikan produk unggas dimasak sempurna. Pasteurisasi dan suhu tinggi membunuh virus ini. Meski dunia belum berada dalam pandemi flu burung, semua elemen menuju ke arah sana sudah mulai tersusun. Wille menyimpulkan dengan nada khawatir tapi jujur: “Saya pikir kita berada di tepi sesuatu. Tapi apa tepatnya, saya belum tahu.”

 

Repost dari Kompas : https://www.kompas.com/sains/read/2025/04/09/070000523/flu-burung--dari-unggas-ke-mamalia-apakah-kita-di-ambang-pandemi-