Dunia Dilanda Eggflation, Indonesia Tetap Aman

Bulan suci Ramadan 1446 H membawa berkah tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Selain suasana ibadah yang penuh khidmat dan semangat berbagi, masyarakat juga disuguhi kenyamanan dalam mengakses kebutuhan pokok dengan harga yang relatif stabil. Salah satu kebutuhan pokok yang selalu diburu selama Ramadan---terutama untuk sahur dan buka puasa---adalah telur ayam. Di tengah lonjakan harga telur global akibat fenomena yang dikenal sebagai eggflation, Indonesia justru menunjukkan ketahanan pangan yang luar biasa: produksi telur ayam melimpah, harga tetap terkendali, dan bahkan membuka peluang ekspor ke luar negeri.

 

Fenomena Global Eggflation

Eggflation, atau lonjakan harga telur secara drastis, menjadi salah satu simbol nyata dari tekanan inflasi pangan global sejak dua tahun terakhir. Istilah ini muncul ketika berbagai negara mengalami kenaikan harga telur secara signifikan akibat krisis pasokan yang bersifat multidimensi. Di balik fenomena ini terdapat beberapa faktor utama: wabah flu burung (avian influenza) yang menyapu peternakan ayam petelur di berbagai belahan dunia, lonjakan harga bahan baku pakan seperti jagung dan kedelai karena perang Rusia-Ukraina, serta gangguan logistik pasca pandemi yang belum sepenuhnya pulih.

 

Negara-negara maju pun tidak luput. Di Amerika Serikat, harga telur sempat naik hingga lebih dari 70% hanya dalam satu tahun. Di Jepang, krisis pasokan telur memaksa produsen makanan olahan besar menghentikan sementara produk berbahan dasar telur. Inggris dan Uni Eropa bahkan menghadapi kekosongan rak-rak telur di supermarket. Di Singapura, harga telur mencapai Rp53.000 per kilogram, dan pemerintah memperluas sumber impor dari Malaysia, Thailand, hingga Brasil demi menjaga pasokan.

 

Eggflation juga memperlihatkan bagaimana sistem pangan global sangat rentan terhadap guncangan biologis dan geopolitik. Ketergantungan pada rantai pasok global dan produksi yang tersentralisasi membuat negara-negara maju sekalipun kesulitan saat terjadi gangguan. 

 

Dalam konteks ini, negara seperti Indonesia yang memiliki ekosistem produksi telur lokal yang kuat, justru tampil sebagai contoh positif. Ketahanan pangan bukan hanya soal swasembada, tetapi juga soal kemampuan merespons krisis dengan cepat dan efisien. Di tengah sorotan dunia terhadap eggflation, Indonesia justru menampilkan anomali yang menggembirakan. Produksi telur nasional tidak hanya mencukupi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga mencatatkan surplus yang signifikan. 

 

Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian, produksi telur ayam ras Indonesia pada tahun 2024 mencapai sekitar 6,4 juta ton. Sementara itu, kebutuhan konsumsi nasional per bulan diperkirakan sekitar 518 ribu ton, atau setara 6,2 juta ton per tahun. Ini berarti terdapat surplus tahunan yang dapat dimanfaatkan untuk penyangga harga, distribusi antarwilayah, bahkan ekspor.

 

Menariknya, harga telur di tingkat konsumen relatif stabil. Per 25 Maret 2025, harga rata-rata nasional telur ayam ras tercatat Rp29.475 per kilogram, bahkan di wilayah strategis seperti DKI Jakarta, harga berada di bawah angka tersebut yaitu Rp27.688 per kilogram. 

 

Stabilitas ini mencerminkan berfungsinya mekanisme pasar domestik dengan baik, di mana ketersediaan pasokan menjaga harga tetap terkendali meski permintaan meningkat tajam menjelang Ramadan dan Idulfitri. Keberhasilan ini tidak lepas dari kerja kolektif peternak rakyat yang tetap produktif, ditambah peran aktif pemerintah dalam menjaga keseimbangan pasar.

 

Distribusi telur dari sentra produksi utama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung ke wilayah-wilayah konsumen besar seperti Jabodetabek, Kalimantan, dan Sulawesi juga berlangsung lancar. Tanpa gejolak harga yang berarti, masyarakat bisa mendapatkan sumber protein hewani yang bergizi tinggi dengan harga yang terjangkau. Ini adalah bukti nyata bahwa sistem pangan nasional Indonesia, khususnya pada sektor perunggasan, semakin matang dan tahan uji dalam menghadapi tekanan global.

 

Peran Pemerintah dalam Menjaga Stabilitas

 

Keberhasilan Indonesia dalam menjaga harga telur tetap stabil di tengah gejolak global tidak terlepas dari intervensi dan kebijakan strategis pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah. Pemerintah memainkan peran penting sebagai penyeimbang antara produktivitas peternak dan keterjangkauan harga di tingkat konsumen. 

 

Salah satu strategi utama yang dilakukan adalah pengaturan populasi ayam petelur dengan pendekatan pemeliharaan berbeda umur (staggered age), sehingga pasokan telur bisa terdistribusi merata sepanjang tahun dan tidak mengalami lonjakan atau kekurangan musiman.

 

Selain itu, pemerintah juga aktif menstabilkan harga pakan ternak, terutama jagung sebagai komponen utama. Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan sinergi antarinstansi, pemerintah mengembangkan sentra produksi jagung, memperkuat logistik distribusi dari petani ke peternak, serta melakukan operasi pasar jagung di daerah sentra peternakan untuk menjaga harga pakan tidak membebani biaya produksi.

 

Di sisi distribusi, penguatan cold chain logistics dan efisiensi rantai pasok turut menjadi perhatian. Pemerintah bersama BUMN pangan seperti ID FOOD dan BULOG juga memainkan peran cadangan intervensi, memastikan kelancaran distribusi telur antardaerah, terutama dari surplus ke defisit.

 

Tak kalah penting, pemerintah secara rutin melakukan monitoring harga dan pasokan melalui sistem informasi pangan nasional dan melakukan intervensi pasar apabila terjadi gejolak harga. Kesigapan ini dibuktikan dengan minimnya fluktuasi harga di pasar tradisional maupun ritel modern selama Ramadan. Kombinasi antara kebijakan teknis, dukungan logistik, pengawasan pasar, dan kolaborasi lintas lembaga menjadikan Indonesia salah satu negara yang berhasil menjaga stabilitas komoditas telur, di saat banyak negara lain masih berjuang melawan eggflation.

 

Potensi Ekspor di Tengah Krisis Global

 

Melimpahnya produksi telur di Indonesia bukan hanya membawa ketenangan bagi pasar domestik, tetapi juga membuka peluang besar di pasar internasional. Ketika banyak negara menghadapi tekanan eggflation akibat gangguan pasokan, Indonesia tampil sebagai alternatif pemasok baru yang kompetitif dan andal. Potensi ekspor telur nasional menjadi sangat relevan, tidak hanya untuk memperluas pasar peternak lokal, tetapi juga sebagai strategi diplomasi pangan yang menguatkan posisi Indonesia di kancah global.

 

Kementerian Pertanian dan pelaku industri perunggasan telah menjajaki peluang ekspor telur konsumsi ke berbagai negara, salah satunya adalah Amerika Serikat, yang hingga kini masih menghadapi krisis akibat flu burung dan ketergantungan pada sistem peternakan industri yang tersentralisasi. Indonesia dikabarkan siap mengirimkan hingga 1,6 juta butir telur ayam ras per bulan ke AS, dengan pengiriman perdana direncanakan melalui kerja sama antara pelaku swasta dan asosiasi peternak.

 

Selain AS, negara-negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste juga menjadi target potensial ekspor. Singapura, misalnya, tengah melakukan diversifikasi sumber impor pangan untuk mengurangi ketergantungan pada negara tertentu. Indonesia, dengan kedekatan geografis dan standar produksi yang semakin baik, berpeluang menjadi mitra strategis dalam rantai pasok pangan regional.

 

Untuk mendukung ekspor, pemerintah terus memperkuat aspek biosekuriti, traceability, dan sertifikasi halal yang dibutuhkan oleh pasar global. Modernisasi kandang, penguatan logistik, dan pengawasan kualitas menjadi fokus utama agar telur Indonesia mampu bersaing di pasar premium luar negeri.

 

Ekspor telur bukan hanya soal keuntungan ekonomi, tetapi juga mencerminkan keberhasilan manajemen pangan nasional. Di tengah krisis global, Indonesia tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga siap menjadi penyangga ketahanan pangan kawasan. Ramadan tahun ini menjadi momen yang benar-benar menghadirkan keberkahan, tidak hanya dari sisi spiritual, tetapi juga dari sisi ekonomi dan ketahanan pangan. 

 

Di tengah lonjakan harga komoditas pangan global, masyarakat Indonesia dapat menjalani ibadah puasa dengan hati yang tenang dan perut yang tercukupi. Ketersediaan telur yang melimpah dengan harga yang stabil merupakan salah satu simbol nyata dari keberkahan Ramadan kali ini. Telur, sebagai sumber protein hewani yang terjangkau, sangat dibutuhkan oleh keluarga-keluarga Indonesia, baik untuk kebutuhan sahur yang praktis maupun berbuka puasa yang bergizi.

 

Dalam banyak keluarga, telur menjadi solusi pangan yang ekonomis sekaligus menyehatkan. Telur dapat diolah menjadi beragam menu --- dari telur dadar, telur balado, telur pindang, hingga pelengkap dalam kolak atau kue kering khas lebaran. Ketika harga telur stabil di kisaran Rp27.000--Rp29.000 per kilogram, masyarakat memiliki ruang lebih untuk mengalokasikan anggaran kebutuhan lainnya tanpa harus mengorbankan kualitas gizi keluarga. Stabilitas ini menjadi angin segar di tengah tekanan ekonomi yang masih dirasakan sebagian besar masyarakat pascapandemi dan saat daya beli masih rentan.

 

Ramadan yang penuh berkah ini juga membawa semangat optimisme, bahwa dengan kerja sama antara peternak, pemerintah, dan pelaku pasar, Indonesia bisa menjadi contoh ketahanan pangan yang inklusif dan berkelanjutan. Keberhasilan menjaga kestabilan harga telur menjadi refleksi dari sistem pangan nasional yang mulai matang dan resilien. Di tengah dunia yang sedang diuji, Indonesia mampu menyajikan Ramadan yang bukan hanya religius, tetapi juga sehat, murah, dan penuh rasa syukur.

 

Menjaga Ketahanan, Merawat Keberkahan

 

Fenomena eggflation yang melanda dunia seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya membangun sistem pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Indonesia patut berbangga. Di saat banyak negara mengalami krisis pangan dengan harga telur melambung dan pasokan terganggu, Indonesia justru menunjukkan resiliensi luar biasa: produksi tetap tinggi, distribusi berjalan lancar, dan harga terjaga stabil, bahkan di momen krusial seperti bulan suci Ramadan.

 

Keberhasilan ini bukan hanya soal angka statistik produksi dan harga. Ini adalah hasil nyata dari kerja kolektif antara peternak rakyat, pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat sebagai konsumen. Pemerintah yang sigap dalam mengatur populasi ayam petelur, menjaga harga pakan, dan memantau distribusi, menjadi penopang utama stabilitas ini. Di sisi lain, para peternak yang tetap konsisten menjaga kualitas dan produktivitas di tengah berbagai tantangan, telah menjadi pahlawan ketahanan pangan di balik layar.

 

Momentum Ramadan yang diberkahi dengan kestabilan pangan ini seharusnya tidak berhenti sebagai pencapaian sesaat. Justru, ini menjadi pijakan untuk memperkuat sistem secara berkelanjutan, baik dari sisi produksi, distribusi, teknologi, hingga ekspor. Surplus telur yang tercipta membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain global dalam industri pangan, memperkuat posisi di kancah diplomasi pangan internasional.

 

Di bulan penuh berkah ini, ketahanan pangan menjadi lebih dari sekadar strategi ekonomi, ia adalah manifestasi nyata dari keberpihakan negara terhadap kebutuhan dasar rakyatnya. Ramadan kali ini membuktikan bahwa ketika sistem bekerja dengan baik dan gotong royong dijalankan dengan serius, keberkahan tidak hanya turun dari langit, tetapi juga hadir dari kerja keras di bumi.

 

Repost dari Kompasiana : https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/aiskandarzulkarnain7946/67e64cccc925c461b847c613/dunia-dilanda-eggflation-indonesia-tetap-aman